1. Gunung Galunggung
Gunung Galunggung merupakan gunung berapi dengan ketinggian 2.167 meter di atas permukaan laut, terletak sekitar 17 km dari pusat kota Tasikmalaya.
Terdapat beberapa daya tarik wisata yang ditawarkan antara lain obyek
wisata dan daya tarik wanawisata dengan areal seluas kurang lebih 120
hektare di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Obyek yang lainnya seluas kurang lebih 3 hektar berupa pemandian air panas (Cipanas) lengkap dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air panas. Gunung Galunggung mempunyai Hutan Montane 1.200 - 1.500 meter dan Hutan Ericaceous > 1.500 meter. Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada tahun 1882 (VEI=5). Tanda-tanda awal letusan diketahui pada bulan Juli 1822,
di mana air Cikunir menjadi keruh dan berlumpur. Hasil pemeriksaan
kawah menunjukkan bahwa air keruh tersebut panas dan kadang muncul kolom
asap dari dalam kawah. Kemudian pada tanggal 8 Oktober s.d. 12 Oktober,
letusan menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu
halus, awan panas, serta lahar. Aliran lahar bergerak ke arah tenggara
mengikuti aliran-aliran sungai. Letusan ini menewaskan 4.011 jiwa dan
menghancurkan 114 desa, dengan kerusakan lahan ke arah timur dan selatan
sejauh 40 km dari puncak
gunung. Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1894.
Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan awan
panas. Lalu tanggal 27 dan 30 Oktober, terjadi lahar yang mengalir pada
alur sungai yang sama dengan lahar yang dihasilkan pada letusan 1822.
Letusan kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk karena
tertimpa hujan abu. Pada tahun 1918, di awal bulan Juli, letusan berikutnya terjadi, diawali gempa bumi.
Letusan tanggal 6 Juli ini menghasilkan hujan abu setebal 2-5 mm yang
terbatas di dalam kawah dan lereng selatan. Dan pada tanggal 9 Juli,
tercatat pemunculan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85m dengan
ukuran 560x440 m yang kemudian dinamakan gunung Jadi. Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 (VEI=4) disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.
Selama periode letusan ini, sekitar 18 orang meninggal, sebagian besar
karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua,
kedinginan dan kekurangan pangan). Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu dan Kecamatan Leuwisari.
Perubahan peta wilayah tersebut lebih banyak disebabkan oleh
terputusnya jaringan jalan dan aliran sungai serta areal perkampungan
akibat melimpahnya aliran lava dingin berupa material
batuan-kerikil-pasir. Pada periode pasca letusan (yaitu sekitar tahun 1984-1990) merupakan
masa rehabilitasi kawasan bencana, yaitu dengan menata kembali jaringan
jalan yang terputus, pengerukan lumpur/pasir pada beberapa aliran sungai
dan saluran irigasi (khususnya Cikunten I), kemudian dibangunnya check
dam (kantong lahar dingin) di daerah Sinagar sebagai 'benteng' pengaman
melimpahnya banjir lahar dingin ke kawasan Kota Tasikmalaya. Pada masa
tersebut juga dilakukan eksploitasi pemanfaatan pasir Galunggung yang
dianggap berkualitas untuk bahan material bangunan maupun konstruksi
jalan raya. Pada tahun-tahun kemudian hingga saat ini usaha pengerukan
pasir Galunggung tersebut semakin berkembang, bahkan pada awal
perkembangannya (sekitar 1984-1985) dibangun jaringan jalan Kereta Api
dari dekat Station KA Indihiang (Kp. Cibungkul-Parakanhonje) ke check
dam Sinagar sebagai jalur khusus untuk mengangkut pasir dari Galunggung
ke Jakarta. Letusannya juga membuat British Airways Penerbangan 9 tersendat, di tengah jalan. Perkiraan kerugian sekitar Rp 1
milyar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni. Letusan pada periode ini juga telah menyebabkan berubahnya peta
wilayah pada radius sekitar 20 km dari kawah Galunggung.2. Gunung Toba (Supervolcano)
Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu. Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda. Lempeng benua
ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng
lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng
benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik
yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per
tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung
berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan. Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak
lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak
hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera
yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang
pertama 840 ribu tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian
yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi.
Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian
muncul Pulau Samosir.
3. Gunung Maninjau
Kaldera
Maninjau dibentuk oleh letusan gunung berapi diperkirakan terjadi
sekitar 52.000 tahun yang lalu. Simpanan dari letusan telah ditemukan
dalam distribusi radial sekitar Maninjau membentang hingga 50 km di
sebelah timur, 75 km di tenggara, dan barat ke pantai ini. Deposito
diperkirakan akan didistribusikan lebih dari 8.500 km ² dan memiliki
volume 220-250 km ³. kaldera ini memiliki panjang 20 km dan lebar 8 km. Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian
461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km² dan
memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena
letusan gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini
dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang
menyerupai
seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Sri Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.
Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia.
Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua
setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok.
Di sekitar Danau Maninjau terdapat fasilitas wisata, seperti
Hotel(Maninjau Indah Hotel, Pasir Panjang Permai) serta penginapan dan restoran.
Maninjau merupakan danau vulkanik, berada di ketinggian 461,50 meter
di atas permukaan laut. Luasnya sekitar 99,5 km² dan memiliki kedalaman
maksimum 495 meter. Keberadaan Danau Maninjau menciptakan sebuah cerita
legenda “Bujang Sembilan”, yang dipercaya keberadaannya
oleh masyarakat sekitar. Alkisah ada satu keluarga terdiri dari 10 orang,
9 orang laki-laki (bujang) dan seorang perempuan bernama Sani.
Keelokkan paras dan perilaku Sani menjadi daya pikat tersendiri bagi seorang
pemuda bernama Sigiran. Singkat kata mereka kemudian menjalin
asmara.Suatu hari mereka dituduh telah melakukan perbuatan amoral oleh para
bujang. Untuk membuktikannya, mereka melompat ke kawah gunung Tinjau.
Mereka bersumpah jika mereka melakukan tindak amoral maka gunung ini tidak
akan meletus, dan jika mereka tidak melakukan tindakan amoral maka
gunung
ini akan meletus. Akhirnya gunung tersebut meletus dan hasil letusan tersebut
membentuk kawah besar yang kemudian diisi oleh air dan menjadi danau seperti
sekarang. Presiden
Pertama RI Ir. Soekarno pada suatu ketika berkunjung ke Danau Maninjau
dan takjub dengan keindahannya. Untuk mengungkapkan kekagumannya
tersebut ia menulis sebuah pantun yang berbunyi “Jika makan arai
Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau.
Pantun yang ditulis oleh Presiden pertama RI ini, cukup mewakili untuk
menggambarkan keindahan panorama alam Danau Maninjau nan eksotis .
4. Gunung Tambora
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m. yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut. Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April
tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index. Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan danau Taupo pada tahun 181. Letusan gunung ini terdengar hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku.
Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000
orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat
dari letusan tersebut.
Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh,
tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang
terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai
Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19. Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun 1815 di kedalaman 3 meter pada endapan piroklastik.[6] Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama ketika terjadi letusan pada tahun 1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai Pompeii dari timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar