Warren Edward Buffett (lahir di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, 30 Agustus 1930; umur 85 tahun) adalah seorang investor dan pengusaha Amerika Serikat.


2. Sam Walton
Sam Walton, Pengusaha Sukses yang Senantiasa Hidup Sederhana.Sam Walton lahir pada 29 Maret 1918, di Kingfisher, Oklahoma, Amerika Serikat. Walton
membuka Wal-Mart pada 1962, setelah bertahun-tahun bekerja di bisnis
ritel. Rantai usaha yang dikembangkan secara internasional selama 30
tahun lebih, tumbuh menjadi perusahaan terbesar di dunia pada 2010.
Walton mengundurkan diri sebagai CEO pada tahun 1988, pada usia 70,
tetapi tetap aktif di perusahaan sampai kematiannya pada 1992. Samuel Moore Walton lahir 29 Maret 1918 di daerah pedesaan di
Kingfisher, Oklahoma. Dia adalah anak pertama dari Thomas Walton,
seorang bankir, dan istrinya, Nancy Lee. Pada awal hidupnya Walton dan
keluarga pindah ke Missouri, di mana ia dibesarkan. Sebagai seorang
mahasiswa yang berkecukupan dan atlet yang handal, Walton dipilih
sebagai pemimpin tim Football SMA-nya dan bahkan sempat menerima
penghargaan individu. Setelah lulus dari Hickman High School di
Columbia, Missouri, pada 1936, Walton mendaftarkan diri ke University of
Missouri di Columbia, di mana ia lulus dengan gelar di bidang ekonomi
pada tahun 1940. Selepas kuliah, Walton bekerja di JC Penney
Company, sebuah perusahaan bidang eceran tingkat kecil. Di perusahaan
ini ia hanya berkarir selama beberapa tahun sebab setelahnya ia masuk
militer tepatnya di unit intelejen Angkatan Darat Amerika Serikat.Seusai Perang Dunia ke-II, Walton kembali menjadi seorang sipil. Namun,
ia tidak bekerja dengan orang lain lagi. Bersama dengan adiknya, James,
mereka mendiri sebuah toko waralaba di Newport, Arkansas yang mereka
beri nama Ben Franklin.
Dengan modal awal pinjaman $25.000 dari
ayah Mertua Walton, kedua kakak beradik ini sukses memperbanyak toko
menjadi 15 cabang. Hanya saja, Walton tidak gembira karena usahanya
masih belum bisa menembus pasar di pedesaan. Berbekal keberanian, ia pun bergerak dan memutuskan untuk membangun usahanya sendiri. Pada 1962 Walton membuka toko Wal- Mart pertama di Rogers, Arkansas.
Sukses diraihnya dengan cepat saat itu. 14 tahun kemudian, Wal-Mart
menjadi perusahaan publik dengan nilai saham sebeesar $ 176.000.000. Pada awal 1990-an, senilai saham Wal - Mart melonjak sampai $ 45
miliar. Pada 1991 Wal-Mart melampaui Sears, Roebuck & Company untuk
menjadi peritel terbesar di negara itu. Walton bertanggung jawab
untuk banyak keberhasilan. Visinya tentang sebuah toko ritel diskon di
daerah pedesaan berhasil diwujudkannya.Bahkan dalam cengkeraman
resesi, toko milik Walton terbukti sukses. Pada 1991, saat negara itu
terperosok dalam krisis ekonomi, penjualan Wal - Mart justru meningkat
hingga lebih dari 40 persen. Sadar dengan keuntungan yang besar
yang didapatkannya, Walton melakukan banyak hal positif untuk sekitarnya
seperti membuka banyak lowongan pekerjaan dan memberi sumbangan kepada
badan-badan amal. Sampai dengan kematiannya, Walton dikenal
dengan sosoknya yang sangat sederhana. Meski uang yang dimiliki
berlimpah ruah, tetapi ia tetap mengendarai pick-up Ford merah produksi
1985. Bersama istri yang dinikahi pada 1943, Helen, mereka berdua
tinggal di rumah yang sama di Bentonville, Missouri, yang sudah mereka
tempati sejak 1959. Pasangan ini memiliki empat anak: S. Robson, John,
James dan Alice. Selama beberapa tahun terakhir hidupnya, Walton
menderita dua jenis kanker: leukemia dan kanker tulang sumsum. Dia
meninggal pada 5 April 1992, di Rumah Sakit Ilmu Kedokteran University
of Arkansas, Little Rock, Arkansas. Sebulan sebelum kematiannya,
Walton mendapat penghargaan Presidential Medal of Freedom dari Presiden
Amerika Serikat George H.W Bush.
3. Jan Koum

Untuk memenuhi kebutuhan,
ibunya bekerja menjadi baby sitter. Sedangkan Koum membantu menyapu di
toko kelontong. Malang ibunya didiagnosis kanker. Akhirnya mereka
sepenuhnya hidup bergantung pada tunjangan sosial.(baca:Kisah Jan Koum
WhatsApp, tukang sapu Jadi Triliuner (1)
Saat SMA, walau suka bikin ulah,Koum suka belajar mandiri. Lewat buku bekas yang dia beli, dia belajar komputer jaringan. Koum bergabung dengan grup hacker dan sempat chating dengan pendiri Napster, Sean Fanning. Lepas SMA, Koum masuk ke San Jose University dengan pekerjaan sambilan sebagai pengetes keamanan di Ernst & Young.(baca: Jan Koum WhatsApp, Sempat Melamar ke Facebook (3)) Pada 1997, Koum ketemu dengan Brian Acton, pegawai Yahoo ke 44. Mereka cocok. Enam bulan kemudian, Koum mendaftar kerja di Yahoo dan diterima sebagai Infrastructure Engineer. Padahal saat itu Koum masih kuliah. Baru dua pekan kerja di Yahoo, Koum lalu memutuskan berhenti kuliah. Tiga tahun kemudian, ibunya meninggal dan Koum sebatang kara. Acton menjadi teman karib dan menampung Koum. Mereka bekerja di Yahoo hingga 2007. Mereka pergi jalan-jalan ke Amerika Selatan selama setahun. Saat Facebook naik daun, mereka sempat mendaftar jadi pegawai. Hasilnya ditolak. "Kami adalah bagian dari Facebook Reject Club," ujar Acton.
Pada 2009, mereka mendirikan WhatsApp. Saat itu platform BlackBerry Mesengger lagi ngetop. Namun, hanya terbatas pada sesama pengguna perangkat Blackberry. Di sisi lain, iPhone dan ekosistem masih bayi. "Aku beli iPhone dan menyadari bahwa industri aplikasi adalah industri baru," kata dia. Dalam bayangan Koum, WhatsApp lintas perangkat, lintas OS, dan lintas negara. Mereka mengratiskan layanan ini pada tahun pertama. Selanjutnya, mereka memungut fee US$ 1 per tahun. Layanan ini tanpa diselingi iklan. Sebab, iklan jadi momok bagi Koum. Saat pecahnya investasi dotcom pada awal 2000-an, Acton rugi jutaan dolar karena berinvestasi di sektor periklanan. "Bekerja dengan iklan membuat depresi," ujar Koum. "Anda tak akan membuat kehidupan lebih baik dengan membuat periklanan yang baik". Aplikasi ini belum ada bentuknya. Koum akhirnya membuat code yang memungkinkan aplikasi ini bisa nomer telepon semua negara di dunia. Awalnya, aplikasi ini sering crash. "Saya bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memperbaharui ratusan kode telepon di semua daerah," ujarnya.
4. Amancio Ortega
Amancio Ortega: Anak Buruh Kereta Api yang Jadi Orang Terkaya Ketiga di Dunia Setelah Bill Gates dan Carlos Slim Helu, ada nama seorang Amancio Ortega Gaona sebagai
orang terkaya di dunia. Hanya sedikit yang pernah mendengar namanya.
Memang, profilnya sangat rahasia. Dia menghindari tampil di muka umum,
dan menolak semua permintaan wawancara. Sampai tahun 1999, tidak ada
foto Ortega yang pernah diterbitkan di manapun. Namun, jauh di belahan bumi lainnya, di Paris, Milan, New York, bahkan
Indonesia, Ortega berhasil membangun kerajaan fashion yang menjangkau
lebih dari 80 negara. Anda pasti mengenal Zara. Ya, Ortega adalah
pendiri Zara. Dan net worth Ortega diperkirakan mencapai $ 56 miliar. Akan tetapi, siapa sangka bahwa orang terkaya ketiga di dunia ini
berasal dari keluarga pelosok yang miskin. Ortega adalah anak bungsu
dari empat bersaudara. Ia lahir di Busdongo de Arbas, sebuah dusun
berpopulasi 60 orang di Spanyol, pada tahun 1936, ketika Perang Saudara
meletus di Spanyol. Ayahnya bekerja sebagai pekerja kereta api,
sementara ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika
Amancio masih kecil, keluarganya pindah ke La Coruña. Di sana, rumahnya
tidak lain adalah sebuah rumah petak yang berbatasan dengan rel kereta
api yang sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat tinggal para
pekerja rel kereta api. Amancio mungkin akan bergabung ke dalam
industri kereta api juga, jika tidak mengalami satu malam yang mengubah
hidupnya, ketika dia berusia 13 tahun. Berjalan pulang dari sekolah, ia
dan ibunya berhenti di sebuah toko lokal, di mana sang ibu memohon agar
boleh berhutang.
Saat SMA, walau suka bikin ulah,Koum suka belajar mandiri. Lewat buku bekas yang dia beli, dia belajar komputer jaringan. Koum bergabung dengan grup hacker dan sempat chating dengan pendiri Napster, Sean Fanning. Lepas SMA, Koum masuk ke San Jose University dengan pekerjaan sambilan sebagai pengetes keamanan di Ernst & Young.(baca: Jan Koum WhatsApp, Sempat Melamar ke Facebook (3)) Pada 1997, Koum ketemu dengan Brian Acton, pegawai Yahoo ke 44. Mereka cocok. Enam bulan kemudian, Koum mendaftar kerja di Yahoo dan diterima sebagai Infrastructure Engineer. Padahal saat itu Koum masih kuliah. Baru dua pekan kerja di Yahoo, Koum lalu memutuskan berhenti kuliah. Tiga tahun kemudian, ibunya meninggal dan Koum sebatang kara. Acton menjadi teman karib dan menampung Koum. Mereka bekerja di Yahoo hingga 2007. Mereka pergi jalan-jalan ke Amerika Selatan selama setahun. Saat Facebook naik daun, mereka sempat mendaftar jadi pegawai. Hasilnya ditolak. "Kami adalah bagian dari Facebook Reject Club," ujar Acton.
Pada 2009, mereka mendirikan WhatsApp. Saat itu platform BlackBerry Mesengger lagi ngetop. Namun, hanya terbatas pada sesama pengguna perangkat Blackberry. Di sisi lain, iPhone dan ekosistem masih bayi. "Aku beli iPhone dan menyadari bahwa industri aplikasi adalah industri baru," kata dia. Dalam bayangan Koum, WhatsApp lintas perangkat, lintas OS, dan lintas negara. Mereka mengratiskan layanan ini pada tahun pertama. Selanjutnya, mereka memungut fee US$ 1 per tahun. Layanan ini tanpa diselingi iklan. Sebab, iklan jadi momok bagi Koum. Saat pecahnya investasi dotcom pada awal 2000-an, Acton rugi jutaan dolar karena berinvestasi di sektor periklanan. "Bekerja dengan iklan membuat depresi," ujar Koum. "Anda tak akan membuat kehidupan lebih baik dengan membuat periklanan yang baik". Aplikasi ini belum ada bentuknya. Koum akhirnya membuat code yang memungkinkan aplikasi ini bisa nomer telepon semua negara di dunia. Awalnya, aplikasi ini sering crash. "Saya bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memperbaharui ratusan kode telepon di semua daerah," ujarnya.
4. Amancio Ortega

“Dia mendengar seseorang berkata, ‘Señora, saya
tidak bisa memberikan ini kepada Anda. Anda harus membayarnya,” kata
Covadonga O’Shea, seorang teman lama Ortega yang menjalankan sebuah
sekolah fashion di Universitas Navarra di Madrid dan menulis biografi
resmi tunggal dari Ortega, The Man From Zara. “Dia merasa begitu
terhina, sehingga ia memutuskan ia tidak akan pernah kembali ke
sekolah.” Nyaris remaja, Ortega menemukan pekerjaan sebagai
pelayan toko untuk pembuat baju lokal bernama Gala. Pada 16, Ortega
menyimpulkan bahwa uang bisa didapatkan dengan cepat ketika dia bisa
memberikan pelanggan apa yang mereka inginkan, daripada membeli stok
dengan harapan akan menjualnya habis. Maka, dia harus mencari tahu apa
yang benar-benar diinginkan orang lain, kemudian membuatnya. Ortega
kemudian menemukan lingkungan yang ideal: Galicia. Dengan sedikit
kesempatan kerja, ribuan orang melaut. Mereka meninggalkan istri mereka
berjuang sendirian di rumah. “Para wanita akan melakukan apa saja
untuk sedikit uang, dan mereka benar-benar pandai menjahit,” kata
Blanco, yang ikut menulis sebuah buku biografi tidak resmi berjudul
Amancio Ortega: From Zero to Zara. Ortega mulai mengorganisir
ribuan perempuan membentuk korporasi menjahit. Memiliki uang tunai yang
cukup, Ortega membuka toko pertamanya di tahun 1975, dua blok dari
tempat kerjanya di masa remaja, Gala. Dia menamakannya Zara. Butuh waktu 10 tahun bagi Ortega untuk mendirikan perusahaan induk,
Inditex, dan membuka gerai internasional pertamanya di Portugal, yang
mana sumber daya manusianya lebih murah daripada Spanyol.
Kini gerai baru Zara akan terbuka setiap harinya. Toko ke 6.000 Inditex baru saja diluncurkan di London Oxford Street. Sekarang, ada 46 toko Zara di Amerika Serikat, 347 di Cina, dan 1.938 di Spanyol. Ortega membangun kerajaannya pada dua aturan dasar: Berikan pelanggan apa yang mereka inginkan, dan berikan lebih cepat daripada orang lain. Kedua prinsip yang dipelajarinya dari Gala inilah yang jadi rahasia sukses menakjubkan Inditex. Di dalam pabrik Inditex tampak seperti dunia sci-fi bercampur dengan bagian ritel kuno. Operasi mereka didasarkan pada dua aturan dasar Ortega. Hal ini membuat mereka mampu terus restocking dengan kecepatan tinggi. Karyawan Inditex bekerja cepat dan efisien: Desainer menciptakan sekitar tiga item sehari, dan pembuat pola memotong satu sampel dari masing-masing. Dan di samping mereka, duduk seorang spesialis komersial penjualan, masing-masing dengan keahlian regional, yang membedah selera dan kebiasaan pelanggan menggunakan laporan penjualan dari manajer toko Zara untuk melihat apa yang memiliki daya jual tinggi dan apa yang pelanggan cari.
Yang mengherankan, Ortega tidak pernah memiliki kantor. Bahkan sekarang, orang ketiga terkaya di dunia itu duduk di meja di ujung ruang kerja terbuka di bagian pakaian wanita. Ortega lebih memilih kain untuk disentuh daripada memo untuk dibaca. Gaya kerja Ortega dan kemampuannya untuk terhubung dengan setiap karyawan, bahkan karyawan tingkat rendah menaikkan pertanyaan yang menarik: Apakah gaya eksekutifnya akan lebih hirarkis dan konvensional jika ia berasal dari sebuah keluarga istimewa dan dengan gelar MBA , bukan dari kemiskinan dan sedikit pendidikan? “Kemiskinan jelas membentuk siapa dia,” kata Blanco, penulis biografi tidak resmi itu. “Ada rasa lapar akan kesuksesan di sana. Tunjukkan setiap petinju hebat yang tidak berasal dari latar belakang semacam ini. ”
Semi pensiun, Ortega kini tinggal rumah lima lantai menghadap di laut di daerah La Coruña, di jalanan kota yang sibuk, dengan keamanan yang jelas sedikit. Dia makan sarapan setiap pagi (telur dan kentang goreng) dengan kenalannya di klub pengusaha La Coruña, dan beristirahat di akhir pekan ke rumah keluarga besarnya, di mana dia mengguling kambing dan ayam bakar dan mengumpulkan anak-anaknya yang sudah dewasa. Seperti sebuah kebiasaan, Ortega akan mencurahkan waktu seminggu dalam setahun untuk mendaki rute ke Galicia.
Zara bisa saja berubah. Akan tetapi orang yang membangun raksasa ritel itu akan selalu jadi pahlawan bagi yang berasal dari sebuah pedusunan. Pernah, ketika bepergian ke pembukaan gerai Zara di Manhattan, Ortega menyaksikan pembeli tumpah-tumpah di luaran gerai. Dia begitu terharu sampai harus mengurung diri di kamar mandi dan menangis. “Tidak ada yang boleh melihat air mata mengalir di wajah saya,” katanya kepada O’Shea. “Dapatkah kamu membayangkan bagaimana jika orang tua saya melihatnya? Betapa bangganya mereka karena putra mereka telah menguasai Amerika, mulai dari kota kecil yang hilang di penghujung utara Spanyol!”
Kini gerai baru Zara akan terbuka setiap harinya. Toko ke 6.000 Inditex baru saja diluncurkan di London Oxford Street. Sekarang, ada 46 toko Zara di Amerika Serikat, 347 di Cina, dan 1.938 di Spanyol. Ortega membangun kerajaannya pada dua aturan dasar: Berikan pelanggan apa yang mereka inginkan, dan berikan lebih cepat daripada orang lain. Kedua prinsip yang dipelajarinya dari Gala inilah yang jadi rahasia sukses menakjubkan Inditex. Di dalam pabrik Inditex tampak seperti dunia sci-fi bercampur dengan bagian ritel kuno. Operasi mereka didasarkan pada dua aturan dasar Ortega. Hal ini membuat mereka mampu terus restocking dengan kecepatan tinggi. Karyawan Inditex bekerja cepat dan efisien: Desainer menciptakan sekitar tiga item sehari, dan pembuat pola memotong satu sampel dari masing-masing. Dan di samping mereka, duduk seorang spesialis komersial penjualan, masing-masing dengan keahlian regional, yang membedah selera dan kebiasaan pelanggan menggunakan laporan penjualan dari manajer toko Zara untuk melihat apa yang memiliki daya jual tinggi dan apa yang pelanggan cari.
Yang mengherankan, Ortega tidak pernah memiliki kantor. Bahkan sekarang, orang ketiga terkaya di dunia itu duduk di meja di ujung ruang kerja terbuka di bagian pakaian wanita. Ortega lebih memilih kain untuk disentuh daripada memo untuk dibaca. Gaya kerja Ortega dan kemampuannya untuk terhubung dengan setiap karyawan, bahkan karyawan tingkat rendah menaikkan pertanyaan yang menarik: Apakah gaya eksekutifnya akan lebih hirarkis dan konvensional jika ia berasal dari sebuah keluarga istimewa dan dengan gelar MBA , bukan dari kemiskinan dan sedikit pendidikan? “Kemiskinan jelas membentuk siapa dia,” kata Blanco, penulis biografi tidak resmi itu. “Ada rasa lapar akan kesuksesan di sana. Tunjukkan setiap petinju hebat yang tidak berasal dari latar belakang semacam ini. ”
Semi pensiun, Ortega kini tinggal rumah lima lantai menghadap di laut di daerah La Coruña, di jalanan kota yang sibuk, dengan keamanan yang jelas sedikit. Dia makan sarapan setiap pagi (telur dan kentang goreng) dengan kenalannya di klub pengusaha La Coruña, dan beristirahat di akhir pekan ke rumah keluarga besarnya, di mana dia mengguling kambing dan ayam bakar dan mengumpulkan anak-anaknya yang sudah dewasa. Seperti sebuah kebiasaan, Ortega akan mencurahkan waktu seminggu dalam setahun untuk mendaki rute ke Galicia.
Zara bisa saja berubah. Akan tetapi orang yang membangun raksasa ritel itu akan selalu jadi pahlawan bagi yang berasal dari sebuah pedusunan. Pernah, ketika bepergian ke pembukaan gerai Zara di Manhattan, Ortega menyaksikan pembeli tumpah-tumpah di luaran gerai. Dia begitu terharu sampai harus mengurung diri di kamar mandi dan menangis. “Tidak ada yang boleh melihat air mata mengalir di wajah saya,” katanya kepada O’Shea. “Dapatkah kamu membayangkan bagaimana jika orang tua saya melihatnya? Betapa bangganya mereka karena putra mereka telah menguasai Amerika, mulai dari kota kecil yang hilang di penghujung utara Spanyol!”